IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK


Oleh:
ABDUL GAFUR
105610398311
V (Lima) A Administrasi Negara

Unismuh MKS.jpg









JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
Pengertian Kebijakan
Menurut Laswel dan Kaplen, Kebijakan adalah program pencapaian tujuan nilai-nilai tindakan yang terarah.
Pengertian Publik
Menurut Sukarji, Publik adalah sekelompok orang yang dalam kesempatan tertentu di tempat tertentu akan berkomunikasi dengan kita.
Pengertian Kebijakan Publik
Menurut Dye, Kebijakan Publik menyatakan bahwa sebagai “apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu”.
Pengertian Implementasi
Menurut Guntur Setiawan, Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksanaan birokrasi yang efektif.
Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik adalah suatu proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui.
Tugas- Tugas Pemerintah
1.      To Protect The People artinya mengayomi, melindungi masyarakat.
2.      To Regulate The People artinya mengatur rakyat.
3.      To Serve The People artinya proses pemenuhan kebutuhan.
Unsur-Unsur Kebijakan
1.      Tujuan yang hendak dicapai
2.      Pelaksana (Leaning Sector, eksekutif, yudikatif, masyarakat).
3.      Bersifat Positif
4.      Sasaran (Masyarakat secara spesifik)
Proses Implementasi Kebijakan Publik
Ø  Tahap Interpretasi adalah penjabaran dari sebuah kebijakan yang dimana kebijakan tersebut disosialisasikan dan proses komunikasi. Dari kebijakan abstrak menjadi sebuah kebijakan manajerial dan operasional.
Ø  Tahap Pengorganisasian didalamnya terdapat
a.       Pembentukan Organisasi Pelaksana
b.      Perumusan Program Kerja
c.       Perincian Program Kerja
Ø  Tahap Aplikasi, terdapat didalamnya
1.      Apa hasil dari implementasi tersebut
2.      Bagaimana Dampak dari implementasi tersebut

Menurut Anderson, aspek-aspek Implementasi Kebijakan publik adalah
1.      Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut
2.      Hakekat dari proses administrasi
3.      Kepatuhan Terhadap Kebijakan
4.      Hasil atau dampak dari implementasi kebijakan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
1. Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
  1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
  2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
  3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
  4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
2. Model Mazmanian dan Sabatier
Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework for implementation analysis). 
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:
1. Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
2. Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3. Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari: pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. 
3. Model Hogwood dan Gunn
Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah:
1.      Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat implementasi kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
2.      Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi
3.      Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti syarat item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan proses implementasi perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan. Dalam prakteknya implementasi program yang memerlukan perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun ternyata ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
4.      Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan itu sendiri memang jelek. Penyebabnya karena kebijakan itu didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
5.      Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas. Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6.      Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan misi tidak tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan rangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.
7.      Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan dengan jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi. Namun berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam prakteknya tujuan yang akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan menimbulkan konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional atau kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan tujuan mereka sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan dipahami dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara selama pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah berubah, diperluas dan diselewengkan.
8.      Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-uruan yangbtepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk mengendalikan program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network planning dan contrrol.
9.      Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan ordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi, dan bermacam kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat dimengerti sesuai dengan apa yang dikehendaki.
10.  Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya. Persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus juga yang memiliki kekuasan dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik dalam organisasi maupun luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya kompartemenisasi dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik kepentingan.

4. Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai “communication model” untuk implementasi kebijakan yang disebutnya sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan” (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dandependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. 
5. Model Grindle
Model ke-empat adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya).
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1.      Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
2.      Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
3.      Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
4.      Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
5.      Para pelaksana program (program implementators).
6.      Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:
1.      Kekuasaan (power).
2.      Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
3.      Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
4.      Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).

6. Model Elmore, dkk
Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David O’Porter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM). 
7. Model Edward
George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan beureucratic structures. 
Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. 
Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry outkebijakan secara efektif. 
Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. 
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan. 
8. Model Nakamura dan Smallwood
Model Nakamura dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail. Begitu detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini menjelaskan keterkaitan antara pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal. 
9. Model Jaringan
Model ini memehami bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi di antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting di dalamnya. 
Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang ilmuwan Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan, Managing Complex Networks: Strategies for the Public Sector (1997). Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya. 
10. Model Matland
Richard Matland (1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan lebih rinci sebagai berikut: 
Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
1.      Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan.
Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.
2.      Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya diserahkan kepada masyarakat 
3.      Ketepatan Target
Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain.
Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.
Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
4.      Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
a.       Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel endogen, yaituauthoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation settingyang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
b.      Lingkungan Eksternal Kebijakan
Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. 
Ke-empat “tepat” tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
a.       Dukungan politik;
b.      Dukungan strategik; dan
c.       Dukungan teknis.
Selain tiga dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan sebaiknya juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya


Komentar

Postingan Populer