TEORI ISLAM TENTANG DAULAH (NEGARA) : PERSPEKTIF KOSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL-SEKULER
Oleh : Anjar Nugroho
I. PERPSEKTIF
KONSERVATIF-TRADISIONAL
a.
Pengertian Daulah
Kata daulah dalam Ensiklopedi
Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah, yang artinya
bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah
kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh
suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah
dapat diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.
Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya
dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang
artinya :”… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan
diantara kamu …” dan surat al-Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli
hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkandung muatan yang
berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi.
Kata
daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak
ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-banti”
terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan
kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
Kata
daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad
ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat
gelar wali al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari
keluarga Hamdani (Bani Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali
bin Hamdan, keduanya penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif
al-Daulah (pedang negara). Pemberian gelar ini menunjukkan bahwa khalifah
memberikan gelar penghormatan kepada pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan
pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945 H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti
Turki yang menguasai Asia Tengah dan beberapa wilayah di Asia Selatan dengan
pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186 M), dan juga digunakan oleh Malik
Tawaif (1011-1086) di Spanypl. Fatimiah (Dinasti Syiah di Arrika Utara tahun
297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan gelar daulah kepada pejabat
istana mereka.
Al-Kindi,
filosof pertama Islam keturunan Arab (185-256 H/810-869 M),mengartikan daulah
dengan al-mulk (kerajaan). Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi,
seorang dokter pada masa Islam klasik (251-313 H/865-925 M), mengartikan daulah
dengan suksesi.
b. Dasar Hukum Terbentuknya
Daulah
Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan
daulah dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh
kamu) apabila menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan
Ulil Amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian
kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya” (Q.S. al-Nisa : 59)
Para
pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini
sebagai landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung
unsur-unsur yang dapat mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang
diinginkan terbentuknya suatu daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi
Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu mengandung petunjuk dan pedoman
bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat
di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan yang komunikatif dan harmonis
antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka mencapai tujuan yang saling
memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin), sebagai
pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang
harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada
dalam suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda
pemerintahan. Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan
aturan yang telah digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama
ditujukan kepada pengausa, agar bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada
warga sipil, agar mematuhi Allah, Rasulullah, dan ulil amri (penguasa).
Keharusan
adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga orang
bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai
pemimpin” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan
bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan tanpa adanya penguasa
yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat yang memenuhi
hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan bisa
berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah.
c. Rukun Daulah
Menurut
Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan pemerintahan.
1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah. Rakyat
merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua yang
menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan
antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan
mendapat perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di
daerah Muslim diharuskan membayar jizyah (pajak yang dipungut dari
rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang dengannya mereka terjamin memperoleh
perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak tersebut juga merupakan pembenaran
perlindungan perlindungan nyawa dan harta mereka. Setelah itu baik daulah Islam
maupun masyarakat Muslim tidak berhak melanggar harta, kehormatan maupun
kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan perlindungan dalam kemashlahatan umum,
seperti perdagangan dan industri.
Kaum Dzimmi
terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian juga dengan
hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya yang
dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba
terlarang bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga
(perkawinan, perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum
agama mereka, seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan
sebagainya. Mereka juga diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan
sesuai dengan agama mereka.
Menurut
Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga
eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk
membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu,
misalnya baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan
dipilih, dan wajib ikut berperang membela Islam dalam peperangan.
2)Wilayah.
Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara. Untuk
mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah tertentu.
Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak
dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah
yang berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang
berada dalam kekuasaan kaum kafir).
Di
Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah
yang ditaklukkan oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial.
Penaklukan wilayah ini dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan
hukum Islam. Hanya saja antara darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu
perjanjian damai.
3)Pemerintahan.
Pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah. Ia berkuasa
menjalankan urusan daulah, mengurus organisasinya dan menangani urusan
rakyatnya. Dalama perkembangan sejarah Islam, para ahli politik Islam sepakat
menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah emndirikan daulah Islam pertama Madinah
di tahun pertama hijriyah (622 M). Dengan terbentuknya komunitas muslim di
Madinah, maka Rasulullah sekaligus sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara.
Pengukuhan kekuasaan dinyatakan dalah konstitusi tertulis yang dikenal sebagai
Piagam Madinah. Dengan piagam ini Rasul mempunyai kekuasaan untuk menyatakan
perang atau damai, menyelesaikan konflik antar warga masyarakat, dan menentukan
kebijakan menyangkut masalah ekonomi, politik dan lain-lain.
Setelah
Nabi Muhammad wafat, kekuasaan dan bentuk daulah mengalami perkembangan.
Julukan kepada kepala daulah mengalami perubahan, seperti dari khalifah menjadi
sulthan dan amir.
d. Syarat Daulah
Menurut
Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar
(Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah
; 1) mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan
pokok, 3) tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah
pemukiman, dan 5) wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau
hingga rakyat merasa terlindungi.
Selanjutnya
ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa
faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi
kemudahan kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di
dekat pemukiman, 3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi
kebutuhannya, 4) membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5)
mendatangkan para ilmuwan dan para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
e. Fungsi Daulah
Menurut
Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih
madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah,
diantaranya sebagai berikut :
- Memberi perlindungan dan keamanan, serta mempertahankan diri dari serangan musuh.
- Tugas yudikatif mencakup penegakkan hukum dan keadilan, sehingga orang dhalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang yang teraniaya tidak bertambah lemah, dan menegakkan hudud, agar larangan Allah SWT dapat dilindungi dari pelanggaran sehingga hak dan kemashlahatan rakyat terpelihara.
- Tugas keuangan, di antaranya menarik pajak dan sedekah yang diwajibkan syara’, sehinga menurut nash maupun ijtihad dengan tidak memaksa.
II. PERSPEKTIF
LIBERAL-SEKULARISTIK (ALI ABD AL-RAZIQ)
Untuk kepentingan diskusi ini,
dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang dikenal sebagai eksponen
perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini adalah Ali Abd.
Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai eksponen
pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai hakim
syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun
fi al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber
kekuasaan politik; Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam,
diterbitkan pertama kali pada tahun 1925, yang berarti hanya berselang dua
tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus sistem khilafah Turki pada akhir
1923.
Dalam membangun tesis
pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal tertentu tampak
dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi
dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian sumber
kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh
karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk
menerima kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan
atau rezim yang memperoleh keabsahan ilahiah).
Kendati demikian harus
dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam membangun tesis tentang
kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang sesungguhnya
tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan mencari
justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang
meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan
seperti ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi
ilahiyah dengan justifikasi rakyat.
Pada tingkat asumsi yang
dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq sumber legitimasi
kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat (ascending of
power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak
seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah
rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi
berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut
hendaknya tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan
institusi sosial, karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik
maupun Qur’ani. Lebih jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan
ikhlas melayani kepentingan publik atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu
dikecam dalam diri pengusaha profan semacam ini.
Berakar dari asumsi atau
pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raziq membangun
klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif sekularistik. Klaim tentang
khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan mengajukan pertanyaan
besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2) Apakah memang ada sistem
pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber legitimasi kekuasaan, dari
atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ?
Pertanyaan ini muncul di
tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya kekahlifahan dalam
Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu ketegangan di
kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki berujung
dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924 oleh
pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu dilakukan
dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan, dinilai
hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa,
dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang
dimilikinya.
Kekecewaan masyarakat
terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah kekalahan mereka dari
musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan dipaksa untuk menerima
perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas kemerdekaan dan
memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal saat itu menolak
penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata, sehingga menarik
simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar pun pada saat
itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah
mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan
wilyah negerinya.
Di tengah melemahnya sistem khilafah
antara lain karena disebabkan mengemukannya kepentingan pribadi penguasa
seperti itulah Raziq lalu membangun argumentasinya tentang kekuasaan.
Menurutnya masyarakat memang memerlukan kekuasaan politik, namun tidak harus
dalam bentuk tertentu. Bahkan umat pun tidak harus dipersatukan secara politik.
Tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut :
(1) Bahwa
Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual. (2) Bahwa
Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitive. Karena itu umat
Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang mereka rasakah cocok (3)
Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki
dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu semata-mata diadopsi oleh orang-orang
Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi
religius. (4) Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar
persoalan dunia Islam, karena ia digunakan untuk melegitimasi tirani dan
menimbulkan dekadensi umat Islam.
Pikirannya yang menyimpang
dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu, menyebabkan dia
harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim syariah oleh
Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari Raziq.
Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai wartawan
Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan kecaman
terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah
membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim
atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat
oleh sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk
negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling
kita, dengan mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman.
Pemikiran Raziq jelas
merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis Ibn
Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam
perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut
oleh mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas
nama negara memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol
agama akan dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan
dalam sistem negara teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan
secara institusional dan formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan
agama dan kekuasaan atau politik organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan
antara agama dan politik, sehingga kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi
adalah presentasi dari agama. Di sinilah Raziq berbeda paham dengan para
penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida maupun Al-Maududi.
Menurut Raziq, persyaratan
yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan politik dalam Islam
didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan
formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311).
Dalam pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual.
Pemikir seperti Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an
: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47)
Ayat ini dfahami sebagai
perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga formal sehingga lalu
memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol kekuasaan bersumber
dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan, penganut perpsektif
skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power, dalam
hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa
tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul
pemerintahan teokratis.
Pemikiran skripturalistik
sering menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik dengan melakukan
idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam
ideal. Tokoh seperti Al-Farabi dan filosof Ikhwan al-Shafa, misalnya mengajukan
negara ideal yang disebut al-madinah al-fadilah (negara utama). Karena
konsepsi ini bercorak filosof, maka cenderung a-historis. Mengenai
sikapnya terhadap penyelenggaraan politik pemerintahan, maka kaum idealis
cenderung tidak realis dalam menghadapi format politik dan kenegaraan yang ada.
Pandangan idealis ini kemudian lebih cenderung berorientasi formalistik, sebuah
pemikiran yang lebih mengedepankan bentuk (body) dari pada isi (mind).
Mereka tidak terusik dengan kenyataan bahwa bisa saja kekuasaan mengendalikan body,
meski tidak otomatis dapat mengendalikan mind. Dalam hal politik
penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol agama, sehingga
perlu politik yang Islami, antara lain dengan membentuk negara Islam atau
Partai Islam.
Sikap idealis dan tidak
realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan formalisme ajaran
tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan Islam seperti
kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon
pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan
strategi yang diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat.
Dalam membangun tesis pemisah
agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari pemikiran skriptualistik,
idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak ada rujukan yang
dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan adanya
persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan
politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi
wajib hanya karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat
terkenal, “patuhlah kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan
serta merta merujuk kepada penguasa politik baru manapun.
Dengan mengacu pada mufassir
seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan bahwa kata-kata ulil amri
ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena itu ia membantah
bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya
Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan :
Muhammad
hanyalah seorang utusan (Allah). Ia betul-betul mengabdikan dirinya bagi dakwah
agama tanpa kecenderungan yang menyangkut kedaulatan yang sementara sifatnya,
karena ia tidak menyerukan bagi sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan….
Nabi tidak memiliki kerajaan ataupun pemerintahan yang sifatnya temporal. Ia
tidak mendirikan kerajaan dalam pengeritan politik atau apa pun yang sinomim
dengannya;…. Ia hanyalah seorang Nabi, seperti Nabi-nabi yang lain yang
mendahuluinya. Ia bukanlah raja atau pun pembangun negara, Ia juga tidak
menyerukan bagi dibangunnya imperium temporal (al-Raziq, 2001 : 133).
REFERENSI:
Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoevee, cet. IV, 2000
Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa
Ushul al-Hukm, Beirut
: Maktabah al-hayah.
‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul
al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut
: Dar al-Fikr.
Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara
: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta :
Paramadina
Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan
Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan, Bandung : Mizan, 1984
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin
Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Komentar
Posting Komentar